Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

KOL Stories x Gencar: Menyikapi September Effect yang Menyengat Bursa Saham

KOL Stories x Gencar: Menyikapi September Effect yang Menyengat Bursa Saham Kredit Foto: Instagram/Gencar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bursa saham mempercayai bila bulan September merupakan bulan bencana atau lebih dikenal dengan September Effect. Hal ini merujuk pada pergerakan bursa saham di Amerika Serikat (AS) yang selama ini selalu memperlihatkan kelesuannya di setiap bulan September.

Kondisi itu ternyata sudah terjadi sejak tahun 1896. Pada tahun tersebut Dow Jones Industrial Average (DJIA) diciptakan. Sejak itu, kinerja Dow Jones selalu yang menjadi paling jelek. Pasalnya, di Amerika setiap September terjadi aksi ambil untung oleh investor setelah kembali dari liburan musim panas untuk mengunci keuntungan dan kerugian pajak sebelum akhir tahun.

Baca Juga: KOL Stories x Febiansyah: Investasi di Umur 20-an, Kenapa Enggak!

Di Indonesia, September Effect juga menerpa. September effect merupakan bulan di mana terjadinya tren penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Tercatat, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir atau dari 2018 hingga 2020 di bulan September, IHSG memang selalu terkoreksi.

Karena, di September agenda-agenda penting emiten seperti dividen, laporan keuangan kuartal II juga sudah dipublikasikan. Kemudian, di tahun ini bursa saham dalam negeri seiring juga minim sentimen positif. Lalu apa yang harus dilakukan para investor jelang berakhirnya bulan September ini?

Warta Ekonomi melalui program KOL Stories akan membahasnya bersama dengan owner dari GoCuanSaham yakni Gencar

Bursa saham kini memang cenderung dalam tren bearish. Apakah memang benar ini karena September Effect?

Menurut saya, September Effect setiap tahun memang berulang, walaupun tidak pasti. Salah satu sentimennya seperti laporan keuangan perusahaan sudah selesai. Jadi orang akan menunggu laporan Q2 yang akan muncul di Q3 atau bulan Oktober-November. September itu memang relatif lebih sepi, terlebih tren dari Evergrande yang tiba-tiba mencuat.

Tetapi ada kabar baik dari sisi makro, yaitu tapering off karena investor dan pebisnis tidak suka dengan ketidakpastian. Pada akhirnya, September ini tidak terlalu parah, namun kita harus tetap ambil posisi.

Bagaimana sebaiknya menyikapi para kondisi ini? Strategi apa yang sebaiknya diterapkan para investor ketika September Effect?

Jadi saya sering menyampaikan hal ini di komunitas bahwa September ini sudah sepi dan tidak ada katalis positif yang bisa angkat IHSG. Ini terbukti dengan aturan dari pemerintah seperti PPnBM otomotif digaungkan, dan masih banyak lagi. Tetapi isu ini tidak mengangkat.

Bagi yang sudah ada profit, keluar dulu dan siapkan cash lebih banyak. Portofolio di September ini bagi saya pribadi pun bukan dalam posisi yang cuan besar jika di-compare dengan bulan sebelumnya. Tetapi saya lebih banyak memegang cash karena melihat satu trigger agar IHSG bangkit, yaitu old economy yang belum kembali ke valuasi yang wajar. 

Misalnya kita ambil contoh gambaran seperti Astra yang menjadi saham pertama saya sejak 14 tahun lalu. Dulu, Astra termasuk saham blue chip yang setiap orang harus punya. Menurut saya, valuasinya minimal di angka 6.000. Kita tahu bahwa Astra melakukan banyak investasi dengan berusaha diversifikasi di beberapa startup termasuk Go-Jek.  

Lalu, apakah pasar akan kembali bergairah setelah September?

Berbicara seputar IHSG, paling buruknya ada di area 5.900. Tetapi peluang untuk uptrend menurut saya lebih tinggi karena prediksi beberapa analis di awal tahun menunjukkan bahwa IHSG bisa ke angka 7.000 ke atas, tetapi mengalami revisi karena Covid-19 gelombang kedua di angka 6.700. Itu juga harus kita sadari bahwa pandemi gelombang ketiga pasti akan ada.

Kalau sepanjang September ini para investor harus terkapar lesu karena pasar yang kurang bergairah. Lalu, apakah memang ini menjadi momen yang tepat melakukan pembelian?

Saya sendiri satu dua hari ini masih wait and see karena menantikan indeks bisa bergerak ke angka 6.250 ke atas, baru saya akan membelinya. Kembali lagi berita seperti Evergrande membuat kita sebagai investor retail harus peka. Jangan sampai telat, karena lebih baik kita memegang cash saat ini.

Psikologi trading itu sangat penting sehingga jangan sampai FOMO. Di mana saja yang namanya saham kita tidak akan tahu persis pergerakannya. Tetapi kita bisa membaca lewat technical analysis. Kita juga bisa siapkan what if scenario. Jadi saat ini kita lebih baik wait and see dan bagi seseorang yang sudah profit silahkan take profit sambil siapkan cash.

Ketinggalan itu tidak apa-apa, karena ada kesempatan berikutnya. Tanda-tanda IHSG bergerak naik itu bisa dilihat dari transaksinya. Kalau IHSG kembali di atas Rp 12 triliun dan foreign melakukan net buy, itu mungkin menjadi tanda bagi kita untuk masuk di market. 

Menurut Anda, saat ini sektor apa saja yang masih memiliki prospek bagus ke depannya?

Mungkin saham seperti Astra, Telkom, BCA. Namun saya pribadi lebih memilih sektor banking, antara lain saham BBRI atau BBCA. Karena jika foreign masuk, mereka akan memilih sektor banking. Untuk saya, banking merupakan saham defensive karena lebih tahan banting dan walau terkena koreksi tidak akan terlalu dalam.

Sebagai penutup, adakah yang ingin disampaikan?

Mungkin yang akan saya sampaikan adalah apapun stock pick-nya yang Anda dapat dari siapa pun, sebenarnya bukan itu yang membuat kita cuan. Karena stock pick itu ibaratnya sebuah makanan yang belum tentu membuat perut kita kenyang, tetapi bagaimana cara kita me-manage stock pick tersebut.

Stock pick jelek pun jika kita bisa me-manage dengan baik seperti memiliki trading plan yang jelas, maka kita pasti bisa menang di market. Stock pick hanya sebuah stimulus saja. Namun jika teman-teman punya money management dan trading plan yang jelas, kita bisa berhasil di pasar.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Patrick Trusto Jati Wibowo
Editor: Alfi Dinilhaq

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: