Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kabar Merger Gojek-Tokopedia, CIPS: Penggunaan Data Pribadi Konsumen Keduanya Perlu Diatur

Kabar Merger Gojek-Tokopedia, CIPS: Penggunaan Data Pribadi Konsumen Keduanya Perlu Diatur Kredit Foto: Tokopedia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kabar penggabungan atau merger dua raksasa ekonomi digital, Gojek dan Tokopedia, perlu memperhitungkan aspek perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen online yang beberapa ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik sepatutnya termasuk ke dalam proses uji tuntas dan merupakan sebuah langkah yang harus dilakukan sebelum penggabungan dan akuisisi dilakukan.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Siti Alifah Dina mengatakan, masih terdapat aspek perlindungan konsumen online yang belum diatur dalam beberapa peraturan yang menaungi ekonomi digital, khususnya terkait perlindungan data pribadi yang ekstensif. Jika penggabungan akan dilakukan, konsumen perlu diberikan notifikasi apakah data spesifik atau sensitif seperti histori transaksi dan lokasi atau pergerakan akan bisa diakses masing-masing startup satu sama lain secara bebas.

Baca Juga: Heboh Kabar Merger Gojek-Tokopedia, Kalau Benar, Apa Dampaknya??

Tidak hanya itu, lanjutnya, mendapatkan persetujuan dari konsumen terhadap data sensitif juga krusial. Jenis persetujuan yang dimiliki Gojek dan Tokopedia dari para konsumennya masing-masing perlu ditelisik lebih dalam, apakah persetujuan atau consent untuk menggunakan secara internal perusahaan atau apakah bisa ditransfer ke perusahaan rekanan dengan syarat enkripsi dan bersifat anonim.

PP 71/2019 telah mengatur tentang pemrosesan data pribadi. Namun, muatan rinci mengenai jenis data sensitif dan konsen untuk transfer data pribadi baru akan dimuat dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan Data Pribadi (PDP). Saat ini, Rancangan UU (RUU) PDP sedang dalam proses pembahasan di DPR dan ditargetkan akan selesai pada kuartal pertama tahun ini berdasarkan pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika pada Desember 2020.

"Merger ini kemungkinan menjadi salah satu upaya mengatasi dampak Covid-19 terhadap keberlangsungan usaha. Terlebih lagi dengan diberlakukannya kebijakan PSBB di tahun 2020 kemarin, berdampak pada berkurangnya omzet pengemudi ojek online. Namun, tren kembali positif saat ojek online beralih dari membawa penumpang menjadi membawa barang," jelasnya, Jumat (8/1/2021).

Pandemi Covid-19 memang mendorong pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Paling tidak hal tersebut bisa dilihat dari adanya peningkatan transaksi belanja online sejak bulan Maret 2020 sebesar 42% menurut survei dampak sosial ekonomi Covid-19 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS). Laporan dari Google, Temasek, dan Bain (2020) menyebutkan, terdapat peningkatan konsumen online baru di Indonesia saat pandemi sebesar 37%. Konsumen online baru merupakan mereka yang baru membuat akun dan berlangganan layanan digital akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

"Peningkatan jumlah konsumen baru dan perubahan pola transaksi dari offline ke online perlu dimanfaatkan oleh pemerintah dengan adanya payung hukum yang berfungsi untuk melindungi mereka. Hal ini diharapkan dapat menambah kepercayaan konsumen yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kontribusi ekonomi digital pada upaya pemulihan ekonomi," ungkapnya.

Sebelumnya, pemberitaan mengenai isu penggabungan Gojek dengan Grab juga marak diberitakan. Isu penggabungan menjadi topik hangat karena keduanya menyediakan layanan yang sama yang berpotensi menimbulkan monopoli layanan transportasi online roda dua. Salah satu dampak utama monopoli perdagangan adalah penentuan harga yang tinggi dari harga pasar sebelum penggabungan dilakukan. Konsumen dihadapkan pada pilihan harga tersebut atau tidak menggunakan jasa sama sekali.

Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, entitas pemerintah yang mengawasi persaingan usaha di Indonesia, memiliki kewenangan untuk menolak penggabungan perusahaan jika melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, hal tersebut baru dapat dilakukan jika penggabungan sudah resmi dilakukan karena cakupan UU tersebut tidak meliputi tindakan pencegahan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bernadinus Adi Pramudita
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: