Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Nama Prabowo Subianto Terjun Bebas di Survei Bursa Pilpres 2024, Mengapa?

Nama Prabowo Subianto Terjun Bebas di Survei Bursa Pilpres 2024, Mengapa? Kredit Foto: Antara/Irfan Maulana
Warta Ekonomi, Jakarta -

Nama Prabowo Subianto tampaknya makin tidak menarik perhatian publik, menurut sejumlah survei beberapa waktu ini.

Mengutip SINDONews, hasil jakpat online guna mencari kandidat Calon Presiden 2024 sejak 24 November 2020 lalu hingga penghujung 2020, misalnya, nama Prabowo yang sebelumnya masuk tiga besar setelah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (37%) dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (22%), kini terpental dari lima besar, digeser oleh Wakil Ketua DPR yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin (11%).

Baca Juga: Cara Dapat Token Listrik Gratis PLN Januari 2021, Bisa Lewat Web PLN dan WA!

Baca Juga: Pengumuman! Calon Penerima Vaksin Corona di Bandung Akan Terima SMS

Menteri Pertahanan ini hanya menempati urutan keenam (4%), jauh di bawah Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (8%) serta tokoh politik muda yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebesar 5%.

Potret serupa bisa dilihat dari hasil Survei nasional Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) yang dirilis pada 29 Desember 2020 lalu, Prabowo semakin ditinggal pendukungnya. Hanya sekitar 50% pemilih Gerindra pada Pileg 2019 yang akan memilih Prabowo seandainya Pilpres dilakukan sekarang. Dan hanya 39% pemilih Prabowo pada Pilpres 2019 yang menyatakan akan memilih Prabowo seandainya Pilpres dilakukan sekarang. Karena itu, Prabowo dinilai sulit untuk sukses maju pada Pilpres 2024.

Bandingkan dengan survei pada Desember 2015, empat tahun menjelang pilpres 2019, survei menunjukkan bahwa suara dukungan terhadap Prabowo mencapai 23.9%. Survei SMRC juga menunjukkan bahwa dari massa pendukung Gerindra, terdapat 13% yang menyatakan memilih Anies Baswedan dan 14% memilih Sandiaga Uno bila pilpres dilakukan saat ini. Di kalangan mereka yang memilih Prabowo pada Pilpres 2019, 18% di antaranya akan memilih Anies sebagai Presiden seandainya Pilpres dilakukan saat ini.

Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin mengatakan, ada beberapa variabel yang membuat tren suara Prabowo terus melorot.

"Prabowo sebenarnya ini kena operasi politik di awal. Konstruksi politiknya, Gerindra itu masuk ke pemerintahan, tapi pada saat yang sama Fadli Zon selalu kritis kepada pemerintah. Ingat, Prabowo selalu di atas ketika itu surveinya, sebelum penangkapan Edhy Prabowo (mantan menteri Kelautan dan Perikanan), Prabowo selalu di atas bersaing dengan Ganjar dan Anies, lalu Gerindra juga di atas," kata Ujang, Sabtu (2/1/2021).

Dikatakan Ujang, tren suara Prabowo mulai hancur sejak adanya operasi politik dengan penangkapan Edhy Prabowo. "Dari situ mulai Prabowo hancur. Baik Gerindra di pilkada, lalu Prabowo maupun Gerindra di survei nasional," tuturnya.

Selain itu, Prabowo juga dianggap publik tidak konsisten terhadap dirinya. Inkonsistensi ini bisa mudah dilihat ketika pada awalnya Prabowo "perang terbuka" dengan Joko Widodo (Jokowi) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, bahkan prabowo selalu menjelek-jelekkan kinerja pemerintah, kemudian memilih bergabung dengan pemerintah setelah kalah pilpres.

"Lalu dia 'bercerai' dengan kelompok Islam 212 dan sebagainya, ini menandakan inkonsistensi itu ada. Itu mengubah harapan publik yang ingin Prabowo berada di luar pemerintahan dan ingin mengkritik pemerintah itu tidak terjadi. Oleh karena itu wajar ketika Prabowo ditinggalkan. Apalagi terjadi penangkapan Edhy Prabowo yang diduga, maaf, alirannya ke perusahaan Prabowo, ini menjadi rumit bagi Prabowo sendiri," tuturnya.

Ujang mengatakan, untuk membaca tren penurunan suara Prabowo, tesis politiknya adalah saat ini masyarakat banyak yang kecewa kepada pemerintahan dalam hal penanganan pandemi Covid-19, pembentukan UU Omnibus Law Cipta Kerja dan lain-lain.

"Awalnya publik yang kecewa dengan pemerintah butuh figur seperti Prabowo, tetapi Prabowo sendiri larut masuk dalam pemerintahan yang dianggap sama dengan pemerintahan sehingga masyarakat menarik diri, pendukungnya berlarian sehingga menarik diri dari survei itu," pungkas Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Tanayastri Dini Isna

Bagikan Artikel: