Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pembiayaan Defisit Indonesia Mencerminkan Pilihan Kebijakan yang Sulit

Pembiayaan Defisit Indonesia Mencerminkan Pilihan Kebijakan yang Sulit Kredit Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Warta Ekonomi, Hong Kong -

Pengaturan pembagian beban baru Indonesia dalam menanggapi gelombang Covid-19 yang kuat akan membantu membiayai defisit fiskal yang lebih besar. Akan tetapi, hal itu meningkatkan risiko melemahnya stabilitas ekonomi makro dari waktu ke waktu karena memperpanjang pembiayaan moneter langsung dari defisit fiskal hingga 2022, kata Fitch Ratings, dalam diskusi publik secara daring yang digelar, Selasa (7/9/2021).

Meningkatnya kemungkinan terwujudnya risiko dapat berdampak negatif terhadap penilaian Ficth Ratings terhadap peringkat negara, seperti yang kami nyatakan ketika kami menegaskannya di ‘BBB’ dengan Outlook Stabil pada Maret 2021.

Pengaturan terbaru pihak berwenang mencakup penempatan swasta dengan bank sentral yang berjumlah 1,3% dari PDB pada tahun 2021 dan 1,2% pada tahun 2022.

Ini menyiratkan bahwa pembiayaan moneter dari defisit akan menjadi bagian dari perangkat kebijakan Indonesia lebih lama --dan akan lebih besar-- dari yang kami perkirakan sebelumnya, meskipun sebagian dapat menggantikan pembelian Bank Indonesia (BI) di pasar perdana sebagai pembeli siaga.

BI membeli Rp136 triliun (0,8% dari PDB) utang pemerintah hingga pertengahan Agustus tahun ini. Ini membiayai sekitar setengah dari defisit 6,1% dari PDB pada tahun 2020, di mana 2,6pp berada di bawah pengaturan pembagian beban.

Pengaturan tersebut akan menekan biaya bunga pemerintah, membebaskan sumber daya untuk langkah-langkah bantuan pandemi, tetapi berisiko campur tangan pemerintah dalam pembuatan kebijakan moneter.

Pihak berwenang Indonesia telah menekankan bahwa independensi bank sentral tidak diragukan dan kebijakan tersebut telah dilembagakan atas inisiatif BI, sementara reaksi pasar secara luas netral sejauh ini.

Meskipun demikian, pembiayaan moneter yang berkepanjangan pada akhirnya dapat merusak kepercayaan investor, terutama ketika pasar negara berkembang berada di bawah tekanan karena kondisi likuiditas global yang semakin ketat.

Menurut kami, risiko bahwa BI mengabaikan stabilitas keuangan dan pengendalian inflasi untuk menekan biaya bunga utang publik dalam waktu dekat adalah rendah.

Kami memperkirakan tekanan inflasi akan tetap lemah selama 12 bulan ke depan karena kesenjangan output yang masih cukup besar. Namun, prospek inflasi akan menjadi lebih tidak pasti setelah pemulihan ekonomi berlangsung.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: