Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Masuki Era Digital, Industri Keuangan Diminta Antisipasi Risiko ini

Masuki Era Digital, Industri Keuangan Diminta Antisipasi Risiko ini Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku wasit di industri keuangan mendorong perbankan untuk terus memperkuat tata kelola dan manajemen risiko teknologi informasinya (TI) di tengah bisnis perbankan yang sedang mengalami transformasi dari arah old banking system menuju digital banking.

Menurut Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK, Teguh Supangkat, ada tantangan yang perlu diantisipasi perbankan seperti perlindungan dan pertukaran data nasabah, risiko kebocoran data nasabah terkait dengan fraud, kemungkinan ketidaksesuian investasi teknologi dengan strategi bisnisnya, dan lainnya.

“Risiko serangan siber menjadi salah satu risiko utama yang perlu diwaspadai dan dimitigasi oleh perbankan di era digital, mengingat perkembangan digitalisasi di perbankan meningkatkan timbulnya risiko keamanan siber bagi bank,” kata Teguh dalam seminar nasional “Digital Economic in Collaboration: The Importance of Cyber Security To Protect Financial Sector in The New Age” secara virtual di Jakarta, Senin (29/11/2021). Baca Juga: Perlindungan Data Pribadi Kunci Akselerasi Ekonomi dan Keuangan Digital

Untuk mengantisipasi risiko tersebut, OJK telah mengeluarkan roadmap pengembangan perbankan Indonesia sampai dengan 2025 yang menjadi acuan dalam kebijakan dan pengaturan ke depan. "Dalam hal ini OJK akan mendorong perbankan untuk terus memperkuat terkait dengan tata kelola dan manajemen risiko TI (teknologi informasi), mengadopsi teknologi terkini, kemudian melakukan kerjasama terkait TI dan mengimplementasikan advance digital banking,” papar dia.

Bank Indonesia (BI) juga memiliki cara tersendiri dari segi pengamanan data digital setiap nasabah yang ada di sistem pembayaran nasional. Salah satu caranya adalah dengan melakukan komunikasi intens dengan Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP). 

Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Retno Ponco Windarti pun mengungkapkan, bahwa dampak dari kebocoran data cukup fatal dan harus dibereskan secepat mungkin. "Kita memberikan waktu maksimal 1 jam dari kejadian harus lapor. Lalu, kita lakukan pembahasan, audit untuk mencari apa penyebab sebenarnya,” tukas dia.

Selain itu, dirinya juga menegaskan, pihaknya juga akan memberikan sanksi pada PJP dan PIP yang teledor dalam melakukan kewajibannya. Sehingga, keamanan digital menjadi salah satu faktor yang perlu diutamakan dalam industri jasa keuangan.

“Akhirnya kita juga bisa memberikan sanksi kalau memang pada level-level tertentu kejadian tersebut terjadi karena keteledoran dan tidak memenuhi ketentuan yang ada," papar dia.

Dari sisi industri perbankan, Bank DKI selaku Bank Daerah memiliki langkah-langkah untuk menangkal serangan siber salah satunya dengan pendekatan IT Security Cyber Architecture. Direktur Teknologi dan Operasional Bank DKI, Amirul Wicaksono mengatakan, dengan langkah tersebut, sejauh ini Bank DKI masih aman dari risiko serangan siber karena, bank memiliki regulasi yang ketat.

“Di bank ada regulasinya, seperti Peraturan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi (MRTI). Dari OJK juga selalu mengaudit fungsi mitigasi risiko dan fungsi untuk menangkal serangan siber,” katanya. Baca Juga: Perilaku Nasabah, Kunci Utama Tekan Kejahatan Siber di Perbankan

Seiring dengan transformasi digital yang dilakukan industri keuangan, risiko serangan siber juga ikut meningkat di industri multifinance. Untuk itu, CIMB Niaga Finance sebagai perusahaan pembiayaan telah menerapkan dua hal untuk memitigasi risiko cyber crime. “Terkait cyber crime, bagaimana bisa kita mitigasi, pertama di CIMB Niaga Finance kita membentuk satu divisi yang fokus terhadap IT security yang ada bagiannya sendiri,” jelas Presiden Direktur CIMB Niaga Finance, Ristiawan Suherman.

Kemudian, lanjutnya, produk yang sudah dan belum diluncurkan, berbagai macam sistemnya sudah didevelop secara internal. “Kedua, di berbagai macam sistem kita develop internal teknologi bagi produk yang sudah kita luncurkan dan belum kita luncurkan. Jadi kita set up yang namanya digital agile team,” kata Ristiawan.

Di sisi lain, Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC menghimbau Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP) perlu semakin hati-hati. Pasalnya, RUU Perlindungan Data Pribadi memuat hukuman bagi penyelenggara sistem jasa keuangan yang teledor dalam menjaga data nasabah.

Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha mengatakan, bahwa dirinya turut berpartisipasi dalam penyusunan RUU Perlindungan Data Pribadi dan menjelaskan konsekuensi bagi para pelanggarnya.

“Hati-hati, nanti kalau sudah diundangkan, ada ancaman hukuman badan dan ancaman denda, perdata dan pidana kalau ternyata terjadi kebocoran data di platform yang anda miliki,” ucap Pratama.

Ia mengungkapkan, aturan ini akan menyasar setiap penyelenggaran pembayaran sistem elektronik baik pemerintah maupun swasta tanpa pandang bulu. Dengan demikian, keamanan data nasabah akan semakin meningkat nantinya. Saat ini, Pratama mengakui memang belum ada aturan yang menghukum kasus kebocoran data PJP dan PIP. Ia menilai, selama aturan ini masih dikaji, setiap institusi jasa keuangan harus hati-hati dan tetap mengutamakan keamanan data digital di platformnya masing-masing.

“Kadang kita ini masih beranggapan bahwa membuat sistem yang kompleks, digitalize dan mahal sudah oke. Tapi ketika sistem keamanan securitynya tidak dimaksimalkan, akhirnya terjadilah peretasan. Pelaku bank, asuransi ini harus hati-hati,” tutup dia.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: