Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kasus Fetish Jarik, Psikolog: Jangan Labelling!

Kasus Fetish Jarik, Psikolog: Jangan Labelling! Kredit Foto: Shutter Stock
Warta Ekonomi, Jakarta -

Berkaca dari kasus fetish jarik yang beredar di media sosial, ada hal-hal yang bisa menjadi pelajaran. Salah satunya pemberian label atau labelling.

Psikolog klinis dewasa, Nirmala Ika, menyarankan orang-orang tidak memberikan label pada seseorang tanpa adanya pemeriksaan klinis dari pakar yang kompeten.

Baca Juga: Catat! Perilaku Fetish Bisa Terjadi pada Anak yang Dulunya Begini

"Jangan memberikan pelabelan ketika kita tidak benar-benar memahami apa yang terjadi, perlu pemeriksaan oleh orang-orang yang kompeten dengan persoalan tersebut sehingga dapat diberikan treatment yang tepat untuk orang tersebut," ujar Nirmala, Jumat (31/7/2020).

Menurut dia, memberi label pada seseorang tanpa mengetahui kondisinya sama dengan merundung orang yang bersangkutan. Ini bisa berdampak pada sosok yang diberi label, termasuk membuat dia berperilaku makin buruk.

"Itu jelas memberikan dampak kepada orang yang bersangkutan dan kadang seringkali malah membuat dia 'makin buruk' karena merasa marah dan tidak dipahami," kata dia.

Dari sudut pandang korban, Nirmala menilai pentingnya para korban mendapatkan penanganan dari orang-orang yang kompeten di bidangnya. Sebab, ini bukan pengalaman yang mudah juga bagi sebagian orang.

"Jangan berikan stigma juga kepada mereka karena kita cenderung suka memberikan stigma pada orang lain, misalnya pada korban pemerkosaan bahkan yang pada pasien Covid-19. Yang kalau dipikir-pikir siapa sih yang mau mengalami itu semua," tutur Nirmala.

Terakhir, Nirmala menekankan, terlepas dari mahasiswa berinisial G melakukan fetish atau bukan seharusnya kasus ini bisa membantu masyarakat melihat kekerasan seksual bentuknya bukan pemerkosaan saja. Ia mengatakan, kekerasan seksual juga memiliki bentuk-bentuk lainnya seperti eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kehamilan, dan pemaksaan kontrasepsi.

Hanya, menurut dia, jenis kekerasan seksual belum dibahas di undang-undang negara. "Kekerasan seksual bentuknya bukan pemerkosaan saja, ada bentuk-bentuk lain yang belum dibahas di UU negara kita yang sudah ada. Itu sebabnya RUU PKS penting sekali untuk dikaji dan disahkan," kata Nirmala.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) hingga kini masih diwarnai kontroversi di kalangan masyarakat dan tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada pendapat bahwa RUU ini berpotensi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan agama, definisi kekerasan seksual, hingga cakupannya dianggap berperspektif liberal.

Di sisi lain, ada pendapat yang mengatakan RUU PKS perlu segara disahkan karena korban kekerasan seksual masih sulit memperoleh perlindungan dalam berbagai aspek.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: