Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Apa Itu Literasi Keuangan?

Apa Itu Literasi Keuangan? Kredit Foto: Unsplash/Thought Catalog
Warta Ekonomi, Jakarta -

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Triple M (Manusia Membantu Manusia/Mavrodi Manial Moneybox) atau Koperasi Pandawa begitu mudah meraup uang masyarakat dengan iming-iming investasi yang menguntungkan. Tawaran mereka begitu menggiurkan yakni memberikan imbal hasil yang begitu tinggi sehingga banyak masyarakat mengelontorkan uangnya untuk berinvestasi.

Namun seiring berjalannya waktu, hasil investasi yang tinggi seperti yang dijanjikan tak sesuai harapan. Pasalnya, mereka merupakan salah satu pelaku investasi ilegal dengan skema ponzi atau piramida. Skemanya adalah anggota bisa mendapatkan uang jika ada anggota baru yang mengirimkan uang tapi ketika tak ada lagi yang mengirimkan maka permainan akan terhenti.

Skema ini memang dirancang untuk bangkrut atau tidak bertahan lama. Biasanya, skema ini berakhir dengan kejadian bahwa uang yang telah diinvestasikan dibawa lari oleh sekelompok atau seseorang dari pencetus "usaha" tersebut.

Sebenarnya masyarakat tidak akan mudah tertipu bila tingkat literasi keuangan Indonesia tinggi. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), literasi keuangan merupakan pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang mempengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan dalam rangka mencapai kesejahteraan.

Baca Juga: OJK: Literasi Keuangan Berdampak Positif bagi Pendidikan Anak

Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD (2016) mendefinisikan literasi keuangan sebagai pengetahuan dan pemahaman atas konsep dan risiko keuangan, berikut keterampilan, motivasi, serta keyakinan untuk menerapkan pengetahuan dan pemahaman yang dimilikinya tersebut dalam rangka membuat keputusan keuangan yang efektif, meningkatkan kesejahteraan keuangan (financial well being) individu dan masyarakat, dan berpartisipasi dalam bidang ekonomi.

Data survei OJK pada 2016 mencatat tingkat literasi keuangan Indonesia hanya sebesar 29,7%. Artinya dari 100 orang baru sekitar 30 orang yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan yang memadai mengenai produk dan layanan keuangan (well literate).

Dengan kondisi seperti ini, ditengarai masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memiliki pengetahuan yang cukup mengenai bagaimana mengoptimalkan uang untuk kegiatan yang produktif. Di samping itu, masyarakat juga belum memahami dengan baik berbagai produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan formal dan lebih tertarik pada tawaran-tawaran investasi lain yang berpotensi merugikan mereka.

Kurang pahamnya masyarakat terhadap produk dan jasa keuangan inilah yang dimanfaatkan pelaku investasi ilegal untuk mengeruk dana di masyarakat dengan iming-iming imbal hasil tinggi. Sebagai contoh MMM yang menjanjikan imbal hasil atau bunga 30% per bulan. Padahal bila kita orang yang well literate, imbal hasil tersebut sangat tidak masuk akal dan tidak wajar. Pasalnya perbankan saja yang mempunyai modal dan aset besar hanya memberikan bunga deposito sekitar 5-10% per tahun.

Baca Juga: Hadapi Industri 4.0, Literasi Digital untuk Generasi Milenial Dinilai Penting

Selain bisa mencegah hal-hal yang merugikan, tingginya tingkat literasi keuangan diyakini juga mampu meningkatkan kesejahteraan karena dengan bertambahnya tingkat literasi keuangan maka masyarakat dapat membuat keputusan keuangan dengan lebih baik sehingga perencanaan keuangan keluarga atau pribadi menjadi lebih optimal, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan.

Manfaat literasi keuangan dari sisi makro ekonomi juga sangat penting karena semakin tinggi tingkat literasi keuangan masyarakat maka semakin banyak masyarakat yang akan menggunakan produk dan jasa keuangan. Konsekuensinya adalah semakin tinggi pula potensi transaksi keuangan yang terjadi sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun menciptakan pemerataan pendapatan dan keadilan.

Di samping itu, dengan semakin meningkatnya literasi keuangan masyarakat, diharapkan semakin banyak masyarakat yang menabung dan berinvestasi, yang pada akhirnya menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan.

Melihat banyaknya manfaat yang didapat, pemerintah bersama OJK, industri jasa keuangan, dan pihak terkait lainnya telah mencanangkan berbagai program untuk menaikkan tingkat literasi keuangan Indonesia. Misalnya melakukan edukasi keuangan ke sekolah-sekolah formal, mewajibkan lembaga jasa keuangan melakukan edukasi ke masyarakat, membentuk Strategi Nasional Keuangan Inklusif, hingga membuat Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia atau SNLKI (Revisit 2017) yang merupakan penyempurnaan dari SNLKI 2013.

Ada tiga program strategis dalam SNLKI Revisit 2017. Pertama, Cakap Keuangan, yang bertujuan untuk meningkatkan awareness dan pemahaman masyarakat mengenai lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan.

Program strategis kedua, Sikap dan Perilaku Keuangan Bijak yang bertujuan untuk membangun masyarakat yang memiliki ketahanan keuangan yang kuat dalam menghadapi berbagai kondisi keuangan termasuk guncangan keuangan. Dan yang terakhir yakni Akses Keuangan yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah pemanfaatan produk dan layanan jasa keuangan oleh masyarakat.

Baca Juga: Pentingnya Literasi Keuangan Bagi Pengusaha dan Karyawan

Sementara melihat perkembangan teknologi informasi serta penetrasi pengguna internet di Indonesia, maka perlu disusun suatu strategi untuk memperbesar tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat dengan memanfaatkan jaringan internet.

Global Partnership for Financial Inclusion (GPFI) telah merumuskan prinsip-prinsip terkait dengan inklusi keuangan digital dalam G20 High Level Principles for Digital Financial Inclusion tahun 2016. Terdapat delapan prinsip yang dapat menjadi pedoman dalam memacu pertumbuhan ekonomi dengan mendorong perkembangan layanan keuangan secara digital.

Pada prinsip ke-6 mengenai Strengthen Digital and Financial Literacy and Awareness merupakan prinsip yang penting sebagai upaya untuk membangun awareness masyarakat terhadap penggunaan layanan keuangan digital. Prinsip ke-6 ini juga memberikan pesan bahwa edukasi kepada masyarakat mengenai penggunaan layanan keuangan digital dalam transaksi keuangan sangat diperlukan.

Dengan membangun awareness disertai edukasi layanan keuangan digital tersebut diharapkan pengetahuan dan kepercayaan masyarakat semakin tinggi sehingga berpotensi semakin besar masyarakat menggunakan layanan keuangan digital dalam transaksi keuangan sehari-hari.

Menjawab hal itu, Bank Indonesia dan OJK telah menginisiasi program Layanan Keuangan Digital (LKD) dan Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai). Program ini mengizinkan masyarakat yang memiliki usaha warung kelontong, toko pulsa dan bidan dan usaha lainnya untuk menjadi agen perbankan.

Kemudian OJK juga mengeluarkan payung hukum atau aturan bagi kehadiran industri financial technology (fintech) peer to peer lending (P2P Lending) di Indonesia. Dengan demikian masyarakat menjadi semakin mudah dalam mengakses produk dan jasa keuangan meskipun tinggal di daerah terpencil.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: