Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Charlie Hebdo Berulah Lagi, Ancaman Bagi Perdamaian?

Charlie Hebdo Berulah Lagi, Ancaman Bagi Perdamaian? Kredit Foto: Reuters/Yoan Valat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Charlie Hebdo kembali berulah. Dengan dalih kebebasan berekspresi menampilkan kartun-kartun Nabi Muhammad SAW. Mengapa kejahatan teror terhadap Rasulullah SAW terjadi? 

Secara historis pelbagai bentuk teror kepada Nabi SAW akan berlangsung sepanjang zaman. Menurut Alquran, teror paling dahsyat, kasar, dan biadab datang bertubi-tubi dari kalangan Yahudi, baik ketika Nabi SAW saat hidup atau sesudah wafatnya.

Baca Juga: Geger Karikatur Rasul di Paris, Macron: Itu Kebebasan Pers

Di era modern teror datang dari orang-orang yang mengaku Islam dan orang-orang luar Islam. Di kalangan umat Islam, mereka meneror Nabi SAW sebagai nabi palsu seperti dilakukan Rashad Khalifa (1835-1908) dari Mesir, Lia Eden dan Ahmad Moshadeq dari Indonesia, serta lainnya.

Demikian pula Mirza Ghulam Ahmad, pendiri agama Ahmadiyah dari India; Mirza Husein Ali, pendiri agama Baha’i dari Iran, dan lainnya. 

Sementara orang-orang luar Islam meneror Nabi SAW dengan cara menghina, mencaci-maki, melecehkan, dan menfitnahnya. Hal ini lazim dilakukan para sarjana ketimuran (para orientalis) dan jurnalis satire yang benci, dengki, dan marah atas keluhuran Nabi SAW. Mereka, antara lain, Fr Buhll, Henri Lammens, GW Bromfield, dan Richard Bell.

Demikian pula SM Zwemer, HG Reissner, Isaiah Goldfeld, Norman Calder, dan Khalil `Athamina BirZeit, dan Pendeta John of Damascus, Pastor Bede, dan novelis Salman Rusdie dari Inggris, serta lainnya.  

Selain menyerang kepribadian dan karakter Nabi, mereka juga mendistorsi risalah kenabiannya. John of Damascus dan Pastor Bede dari Inggris yang hidup pada 673-735 M, misalnya, berpendapat bahwa Nabi SAW adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a wild man of desert).

Bahkan, Bede menggambarkan Nabi SAW sebagai seorang yang kasar, cinta perang dan biadab, buta huruf, status sosialnya rendah, bodoh tentang dogma Kristen, dan tamak kuasa. 

Pada zaman pertengahan Barat, penghinaan Nabi SAW dilakukan dengan menggunakan istilah satire peyoratif. Mereka menggelari Nabi SAW dengan sebutan Mahound, Mahoun, Mahon, Mahomet, dan Machmet. Pelbagai istilah itu sinonim dengan setan dan berhala di dalam bahasa Prancis dan Jerman. 

Pada era Renaissance Barat dan zaman Reformasi Barat, citra buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh Alquran sebagai karya setan, sebagaimana dilakukan Salman Rushdie. Lebih parah lagi, Martin Luther menganggap Nabi SAW sebagai orang jahat dan mengutuknya sebagai anak setan.  

Tak dapat diragukan lagi, teror kepada Nabi SAW tentu menimbulkan protes keras kaum Muslimin sebagai bentuk pembelaan dan kecintaan umatnya kepada nabinya. Jangankan mengina Nabi Muhammad SAW, menghina nabi-nabi yang lain pun akan memicu kritik keras dan kontroversi.

Hal ini dapat dipahami karena secara teologis dalam Islam ditegaskan, penghinaan kepada utusan Allah manapun adalah dosa besar. Mengingkari satu nabi sama dengan mengingkari yang lain.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: