Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mencari Alternatif Pembiayaan Kesehatan yang Berkelanjutan

Mencari Alternatif Pembiayaan Kesehatan yang Berkelanjutan Kredit Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ada jutaan masyarakat Indonesia yang menggantungkan harapan ke program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk memperoleh akses terhadap layanan kesehatan yang setara dan bermutu. Oleh karena itu, keberlangsungan program JKN harus terus dipertahankan dengan baik.

Muslim (48 tahun), buruh pabrik manufaktur di Cikarang, Jawa Barat, merupakan salah seorang yang bergantung kepada JKN untuk mendapatkan layanan atau perlindungan kesehatan. Ia mengisahkan dirinya menderita penyakit infkesi paru-paru pada pertengahan tahun 2018 silam. Penyebab penyakitnya diduga karena polusi udara plus kebiasaan merokok. Sejak saat itu ia mulai akrab dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

"Saya jarang sakit, tidak pernah dirawat di rumah sakit. Tahun 2018 tiba-tiba kena pneumonia dan harus dirawat di rumah sakit lebih dari satu minggu," katanya kepada redaksi Warta Ekonomi di Jakarta, belum lama ini.

Baca Juga: Ini Cara Mudah Aktifkan Status BPJS Kesehatan yang Mati

Ia mengatakan mulai mengalami penurunan performa kerja sejak menderita penyakit tersebut. Pasalnya, sejak sakit infeksi paru-paru ia harus rutin kontrol ke rumah sakit. Proses kontrol ini ia lalui selama lebih dari satu tahun. Ia pun merasa tidak enak hati kepada pihak perusahaan karena tak bisa bekerja dengan maksimal.

"Kalau mau kontrol ke RS, otomatis saya tidak bisa berangkat kerja. Terus saya sudah tidak bisa kerja sekuat dulu sejak sakit ini," sebutnya.

Pria asal Semarang, Jawa Tengah, ini memiliki keinginan untuk mengajukan pensiun dini ke perusahaan. Setelah pensiun, ia memiliki rencana untuk pulang kampung dan membuka usaha kecil-kecilan dengan modal dari dana pensiun. Ia juga ingin memfokuskan diri pada pengobatan dan pemulihan kesehatan.

"Belum sempat mengajukan pensiun dini, ternyata ada pandemi corona. Pihak HRD kasih saran ke saya jangan ambil pensiun dulu karena situasi sedang tidak bagus. HRD kasih saya kebebasan untuk bekerja semampu saya," tuturnya.

Tahun 2020 menjadi tahun yang berat bagi Muslim. Belum sembuh total dari penyakit paru-paru, dokter kembali memvonis dirinya terkena penyakit gula. Dengan demikian, tahun ini ia harus menjalani dua pengobatan sekaligus.

"Kesehatan saya terus menurun. Saya harus minum banyak obat yang harganya mahal-mahal. Ada obat yang harus saya minum seumur hidup. Kalau tidak ada BPJS Kesehatan, uang pensiun dan tabungan saya bisa-bisa habis hanya untuk membayar biaya pengobatan," sebutnya.

Ketergantungan banyak masyarakat Indonesia kepada JKN diamini oleh Deputy Director of Research and Outreach Smeru Institute, Athia Yumna.

Athia Yumna menjelaskan JKN memiliki peran yang sangat besar dalam meningkatkan akses kesehatan masyarakat Indonesia. Bukan hanya membantu masyarakat mengakses layanan kesehatan, ia menegaskan JKN juga berperan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat.

Tercatat, per 30 Juni 2020 total cakupan kepesertaan JKN mencapai 221,2 juta jiwa atau sekitar 84% dari jumlah penduduk Indonesia. Selain itu, JKN melalui BPJS Kesehatan telah membangun kerja sama dengan lebih dari 27.000 fasilitas kesehatan, baik primer maupun rujukan.

Dari jumlah tersebut, komposisi peserta JKN didominasi oleh penerima bantuan iuran (PBI) sebesar 59,9 persen. PBI merupakan program jaminan kesehatan bagi fakir miskin dan orang tak mampu yang dibayarkan oleh pemerintah pusat melalui APBN dan pemerintah daerah melalui APBD. 

"Hal ini menunjukkan kontribusi positif JKN dalam membuka akses terhadap layanan kesehatan yang lebih luas bagi seluruh penduduk Indonesia," ujar Athia Yumna dalam webinar yang digelar di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi untuk menjaga keberlangsungan program JKN adalah mewujudkan pembiayaan yang berkelanjutan. Ia merinci bahwa sedikitnya ada tiga tantangan untuk wewujudkan pembiayaan yang berkelanjutan, yakni ketimpangan cakupan kepesertaan JKN, stimulus fiskal belum cukup untuk mengurangi defisit pembiayaan JKN, dan beban ganda penyakit yang masih besar.

"Meski jumlah anggaran kesehatan Indonesia mengalami peningkatan sejak awal penyelenggaraan JKN, stimulus fiskal ini belum cukup untuk mengurangi defisit yang terjadi di BPJS Kesehatan," ujarnya.

"Sejauh ini, upaya-upaya untuk mengatasi defisit pembiayaan JKN yang sudah dilakukan antara lain, pemberian dana talangan dari aset BPJS Kesehatan, pencairan iuran PBI di muka, pembelanjaan strategis (strategic purchasing) untuk beberapa layanan kesehatan, intervensi langsung melalui suntikan dana APBN, dan kebijakan penyesuaian iuran," paparnya. 

Mewujudkan Pembiayaan Berkelanjutan

Secara umum, upaya untuk mewujudkan pembiayaan kesehatan berkelanjutan mencakup dua hal yakni meningkatkan ruang fiskal dan mendorong efisiensi. Upaya tersebut perlu didukung oleh seluruh kalangan yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, hingga masyarakat.

Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan, Didik Kusnaini, mengatakan bahwa pada tahun 2020 ini ada sedikitnya enam kebijakan di bidang kesehatan yang diterapkan oleh pemerintah.

Kebijakan-kebijakan tersebut seperti (1) perbaikan pelayanan dan akses di fasilitas kesehatan tingkat pertama diikuti ketersediaan tenaga kesehatan yang berkualitas; (2) penguatan program promotif dan preventif dengan mendorong pola hidup sehat melalui Germas serta peningkatan nutrisi ibu hamil/menyusui, balita, dan imunisas; (3) penguatan pelayanan kesehatan dan pengawasan obat dan makanan.

Kemudian (4) peningkatan kesehatan ibu, anak, Keluarga Berencana (KB), dan kesehatan reproduksi; serta (5) melanjutkan pemberian perlindungan kesehatan masyarakat miskin melalui bantuan iuran premi jaminan kesehatan nasional.

"Terakhir, penguatan program konvergensi percepatan penurunan stunting," katanya.

Dari sisi fiskal, Didik Kusnaini mengatakan bahwa pada tahun 2020 ini pemerintah mendorong reformasi sistem kesehatan melalui lima kebijakan yakni percepatan pemulihan Covid-19, program generasi unggul, sinergi atau koordinasi pusat dan daerah, health security preparedness, dan reformasi JKN. Selain itu, ujarnya, pemerintah mendorong agar tercipta ekosistem JKN yang sehat dan berkesinambungan.

"Saat ini terjadi gap antara iuran dan manfaat komperehensif, untuk kesinambungan JKN perlu perbaikan ekosistem dengan mempertimbangkan tarif iuran optimal, manfaat yang rasional, dan kolektabilitas yang tinggi," tegasnya.

Ia menambahkan ada beberapa program atau kebijakan alternatif untuk memperluas pendanaan JKN seperti menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk pembiayaan JKN; mengalihkan subsidi BBM, gas, dan listrik; mengoptimalkan pajak dosa (sin tax), termasuk menambah cukai alkohol, memberlakukan cukai minuman manis (sugar sweetened beverages), dan makanan tidak sehat lain; serta memungut asuransi wajib rokok.

"Upaya pemerintah pusat perlu didukung dengan peningkatan peran pemerintah daerah terutama dalam pembiayaan layanan kesehatan. Pemerintah daerah harus memenuhi target minimal 10% anggaran kesehatan pada APBD-nya," sebutnya.

Selain itu, pemerintah daerah perlu menunjang infrastruktur serta sarana dan prasarana fasilitas kesehatan di daerahnya. Sebagaimana diketahui, salah satu penyebab utama defisit pembiayaan JKN ialah rendahnya kualitas fasilitas kesehatan primer. Misalnya, ketidaklengkapan suplai obat-obatan esensial dan fasilitas tes diagnostik dasar serta minimnya kemampuan tenaga kesehatan dalam melakukan diagnosis dengan tepat.

"Sebagai akibatnya, sebagian besar pasien mencari layanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat lanjut (rumah sakit) yang menyebabkan biaya perawatan kesehatan menjadi lebih mahal," terangnya.

Adapun, Kepala Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan Kemenkes Kalsum Komaryani menyebutkan pemerintah perlu meningkatkan kontribusi sektor swasta yakni perusahaan asuransi komersial dalam pembiayaan JKN.

"Dibutuhkan perbaikan mekanisme koordinasi penyelenggara untuk menyelaraskan antara konsep ganti rugi (indemnity) dalam program asuransi komersial dan layanan kesehatan terkendali (managed care) dalam JKN," terangnya.

Selain pendanaan dan kolaborasi dengan sektor swasta, Kalsum mendorong peningkatan efisiensi layanan untuk memastikan pembiayaan JKN yang berkelanjutan. Ia meningkatkan peningkatan efisiensi layanan dapat dilakukan melalui pengendalian mutu dan biaya layanan dalam bentuk pemantauan antipenipuan, penerapan asesmen teknologi kesehatan (health technology assessment/HTA), dan peninjauan ulang pemanfaatan JKN, serta pelaksanaan pembelanjaan strategis.

Menerapkan Prinsip Farmakoekonomik

Athia Yumna mendorong penerapan prinsip farmakoekonomik dalam perawatan pasien dengan penyakit katastropik/kronis. Prinsip farmakoekonomik penting karena penyakit katastropik/kronis membutuhkan waktu perawatan yang lama dan biaya mahal sehingga menyerap pembiayaan JKN cukup besar.

"Pada 2018, misalnya, klaim biaya penyakit ini termasuk penyakit jantung, gagal ginjal kronis, dan kanker, mencapai sekitar 22% dari keseluruhan klaim JKN," sebutnya.

Ia menjelaskan prinsip farmakoekonomik mengutamakan penggunaan obat yang aman, efektif, dan terjangkau, serta memperhatikan prinsip keadilan. Prinsip farmakoekonomik didasarkan pada penghitungan yang teliti atas manfaat dan biaya penggunaan suatu obat berdasarkan laporan hasil uji klinis yang baik.

"Dengan prinsip farmakoekonomik, pembuat kebijakan memiliki alternatif obat-obat baru yang lebih efisien secara biaya," tegasnya.

Dipaparkan, pengelolaan penyakit katastropik/kronis dilakukan dengan menerapkan berbagai langkah berikut (1) memberikan alokasi dana yang adil bagi penderita penyakit katastropik; (2) menerapkan prinsip farmakoekonomik sebagai pertimbangan dalam pemilihan terapi; (3) menghitung nilai tahun hidup berkualitas yang disesuaikan (quality adjusted-life year/QALY) bagi pasien dengan penyakit katastropik.

Kemudian (4) menentukan besaran kesediaan untuk membayar (willingness to pay/WTP) untuk meningkatkan satu QALY; (5) meningkatkan partisipasi industri obat dalam bentuk pemberian harga khusus; (6) memprioritaskan pengobatan simtomatik.

"Penggunaan obat-obat tersebut secara ilmiah terbukti mendorong penurunan biaya layanan kesehatan, termasuk biaya rumah sakit, biaya tindakan medis, dan biaya tenaga kesehatan, bagi pasien dengan penyakit katastropik/kronis," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: