Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tangkal Gejolak Hoax dan Menengok Teori Representasi Media Massa

Oleh: R.H. Handini Wulan, Mahasiswi Program Doktoral Ilmu Komunikasi Univ. Sahid

Tangkal Gejolak Hoax dan Menengok Teori Representasi Media Massa Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Stuart Mc Phail Hall, FBA, yang memrupakan teoris kebudayaan, aktivis politik, sosiolog Marxis, serta pengamat media massa dan pengaruhnya terhadap persepsi public.

Tulisan ini akan membahas mengenai hoax dan juga para penipu yang terus bergentayangan di media sosial, seperti FB, WA, email, dll. Karena itu, tulisan ini akan menengok pendapat Hall tentang representasi media massa yang dikaitkan dengan pandangan publik terhadap sebuah fenomena atau objek tertentu yang muncul. Baca Juga: Doni Monadro Sebut Medali Emas HPN 2021 Sebagai "Medali Emas Pentahelix”

Menurut Hall, persepsi publik itu selalu dibentuk oleh kebijakan pemberitaan media massa, terutama dalam menanggapi sebuah fenomena atau kejadian. Kala itu, ketika Hall berpendapat, media massa yang yang menjadi ‘mainstream’ terdiri dari tiga klasifikasi, yaitu surat kabar, televisi, dan radio. Adapun internet, belum menjadi media masa yang booming seperti sekarang ini. Mungkin jika Hall masih muda dan lincah di era booming media internet, ia akan meninjau ulang pendapat-pendapatnya mengenai keampuhan institusi media massa dalam membangun persepsi publik. 

Mengapa? Di era telepon cerdas (smartphone) dan internet ini, ternyata justru media-media massa yang dulu disebut mainstream, yang terdiri dari tiga klasifikasi itu, kini mulai memudar kekuatannya, dan perlahan tersisihkan oleh telepon cerdas serta sarana komunikasi yang berbasis internet, yang daya jangkau publiknya lebih melintas batas. Baca Juga: Rayakan HPN, Wagubsu Apresiasi Peran Jurnalis di Masa Pandemi

Radio dan televisi konvensional misalnya, hanya bisa menjangkau kawasan yang dapat mengakses antena atau paling tidak satelit di angkasa, sedangkan radio dan televisi internet yang bersifat streaming, bisa menjangkau semua negara. Yang dibutuhkan sekarang oleh para pelaku broadcasting serta industri media, bukan membangun studio yang mahal dan mewah, tapi memiliki tim yang punya kemampuan komunikasi tingkat internasional, minimalnya menguasai bagasa Inggris secara fasih layaknya seorang ‘native speaker’.

Di Era Hall menjadi pakar media massa, adalah era dimana sarana informasi dan komunikasi lebih mudah dikontrol. Di Indonesia, Era kepakaran Hall itu berlaku hingga Orde Baru, dan jelang akhir hayat Hall, internet di Indonesia belum begitu booming, serta platform media belum semeruyak seperti sekarang. Hall wafat pada 2014, dan pada tahun itu, pengakses youtube di Indonesia misalnya, belum sebanyak setelah 2018. Tentu tidak ingin saya katakana teori Hall mengenai representasi itu telah usang, namun mempertimbangkan pendapat Hall bagi pemerintah selaku regulator di bidang permedia-masaan, adalah menjadi keharusan.

Dari berbagai referensi yang saya kumpulkan, dapat ditarik saripati pendapat Hall mengenai representasi itu adalah seperti ini. Kita mulai dari istilah representasi, yang sebenarnya bukan berlaku hanya bagi kalangan media massa, tapi bagi semua pengkarya, termasuk seniman bahkan para orator agama seperti ustad, kiyai, pendeta, rahib, biksu, dll. Pada jamannya, para orator adalah reporter yang menyebarkan informasi lewat pidato, dan yang menjadi sarananya, adalah suara dia sendiri. Adapun media massa mainstream macam koran atau televisi, hanyalah sarana yang bisa digantikan dan memang akan tergantikan sesuai dengan perkembangan zaman. 

Representasi menurut Hall, dibuat oleh media massa, meskipun tingkat akurasinya antara apa yang disampaikan (representasi) dengan fakta dari realitas kejadian yang digambarkan, ternyata menyimpang.  Soal akurasi data dan fakta ini, akan menjadi kredibilitas sebuah industri media.

Hall menambahkan, representasi tidak dibentuk setelah suatu fenomena terjadi, melainkan representasi itulah yang memberikan makna pada sebuah fenomena, sehingga dapat dikatakan, representasi yang dibuat oleh media bukan hanya dokumentasi atau refleksi dari kejadian yang memiliki pemaknaan tertentu, melainkan merekalah yang berusaha memaknai dulu sebuah kejadian, lalu disebarkan kepada publik, dan setelah itu, publik mengamininya tanpa melakukan check and recheck.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: